Sabtu, 12 Maret 2016

Apakah Adat Istiadat termasuk hukum Islam?


Adat Istiadat merupakan kebiasan yang dilakukan oleh masyarakat di suatu daerah. Tapi permasalahannya apakah dalam islam juga membahas adat istiadat ? apakah istiadat juga termasuk dari bagian hukum Islam? marilah kita membahasnya lebih lanjut lagi.
'URF

Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu hukum yang disepakati dan hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita ketahui bahwa hukum yang kita sepakati tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah, Ijma’, dan Qiyas. Secara umum ada tujuh hukum Islam yang tidak disepakati dan salah satu diantaranya akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini yaitu ‘urf.
Dalam istilah ahli ushul, ‘urf berarti sesuatu yang dikenal dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan atau perbuatan. Urf merupakan tradisi yang berkembang dalam masyarakat, yang mempunyai arti saling pengertian satu sama lainnya, walaupun urf adalah tradisi atau adat dalam suatu lingkungan di masyarakat. Urf juga menjadi suatu sumber hukum yang di ambil oleh mahzab hanafi dan mahzab maliky yang berada di luar lingkup nash.
 ‘Urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama ushul fiqh, ‘urf disebut tradisi (adat kebiasaan). Sedangkan dalam pengertian istilah tidak ada perbedaan antara ‘urf dan adat kebiasaan, sekalipun dalam pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian adat, karena adat di samping telah di kenal masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka, seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap orang yang melanggar.  Contoh ’urf yang bersifat perbuatan yaitu transaksi jual beli tanpa akad ijab qabul, melainkan dengan cara saling memberi (bai’ul-mu’athath). Demikian juga membagi mahar menjadi “hantaran” dan “mas kawin”. Sedangkan contoh perkataan yang menjadi kebiasaan masyarakat seperti kata (ولد) untuk anak laki-laki saja, katadaging tidak mencakup ikan laut, kata (دابة) untuk kuda saja dan kalimat “engkau saya kembalikan kepada orang tuamu” dalam masyarakat Islam Indonesia, mengandung arti talak.

‘Urf, makruf, menurut Al-Baidhawi adalah sesuatu yang dapat diterima oleh akal pikiran dan perasaan suatu masyarakat. Lawannya munkar, yaitu sesuatu yang ditolak oleh akal pikiran dan perasaan suatu masyarakat.
Dilihat sekilas, seakan-akan ada persamaan antara ijma’ dengan ‘urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma’ ada suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama. Sedang pada ‘urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian kemudian seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan melaksanakannya. Hal itu dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain, lalu mereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka. Pada ijma’, masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah menyepakatinya, sedang pada ‘urf  masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan memandangnya baik.
Dalil Kehujjahan ‘Urf
لاَيُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْلوِ فِى أَيْمَنِكُمْ وَلَكِن يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدتُّمُ الْأَيْمَنَ فَكَفَّرَتُهُ, إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تَطْعِمُونَ أَهَلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَّمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّرَةٌ أَيْمَنِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوْا أَ يْمَنَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ ءَايَتِهِ , لَعَلَّكُمَ تَشْكٌرٌونَ (٨٩)
Artinya : Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makanan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tigahari. (QS. Al-Maidah:89)
Dalam ayat ini Allah tidak menentukan jenis makanan untuk kaffarah, melainkan diserahkan pada kebiasaan, yaitu makanan yang biasa diberikan pada keluarga. Sudah barang tentu jenis makanan ini dapat berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya.
عَنْ عَائِثَةَ جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ صَلِّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُأَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ قَالَ لَااجْتَنِبِي الصَّلَا ةَ أَيَّامَ مَحِيضِكِ ثَمَّ اغْتَسِلِي وَتُوَضَّئِي لِكَلِّ صَلَاةٍ ثَمَّ صَلِّي وَإِنْ قَطَرَالدَّمُ عَلَى الْحَصِيرِ (روه أحمد)
Dari Aisyah, Fatimah binti Hubaisy mendatangi Nabi SAW, lalu berkata: Rasulullah, saya perempuan yang sedang istihadah, tidak suci-suci. Apakah saya akan meninggalkan shalat? Beliau menjawab: tidak, tinggalkan shalat pada hari-hari (biasa) haidmu, kemudian mandi, berwudhu, dan berwudhulah untuk setiap shalat, kemudian shalatlah sekalipun darah menetes di atas tikar. (HR. Ahmad)
Dalam hadis ini, berapa lama seseorang istihadah tidak salat, tidak dibatasi dengan jumlah hari, tapi diserahkan pada kebiasaan seseorang mengalami hal. Hal ini dapat berbeda antara perempuan satu dengan perempuan yang lain. Sebab siklus haid seseorang tidak sama.
Para ulama yang menyatakan bahwa ‘urf merupakan salah satu sumber dalam istinbath hukum, menetapkan bahwa ia bisa menjadi dalil sekiranya tidak ditemukan nash  dari Al-Qur’an dan Hadits. Apabila suatu ‘urf bertentangan dengan kitab atau sunnah seperti kebiasaan masyarakat di suatu zaman  melakukan sebagian perbuatan yang diharamkan semisal minum arak atau memakan riba, maka ‘urf mereka tersebut ditolak (mardud). Sebab dengan diterimanya ‘urf itu berarti mengepingkan nash-nash yang pasti (qath’iy): mengikuti hawa nafsu; dan membatalkan syari’at. Karena kehadiran syari’at bukan dimaksudkan untuk legitimasi berlakunya mafasid (berbagai kerusakan dan kejahatan). Segala kegiatan yang menuju ke arah tumbuh dan berkembangnya kemafsadatan harus segera diberantas, bukan malah diberi legitimasi.
Dilihat dari segi valid tidaknya ‘urf dalam pandangan syariat, ‘urf dibagi menjadi:



1.    ‘Urf shahih, yaitu kebiasaan masyarakat yang tidak menghalalkan yang haram dan tidak mengharamkan yang halal serta tidak membatalkan yang wajib. Dan kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertentangan dengan dalil syara’. Urf shahih bisa diterima dan dipandang sebagi salah satu sumber pokok hukum islam. Misalnya adat kebiasaan yang berlaku dalam dunia perdagangan tentang indent, adat kebiasaan dalam pembayaran mahar, secara kontan atau hutang, adat kebiasaan seorang yang melamar seorang wanita dengan memberikan sesuatu sebagai hadiah, bukan sebagai mahar, dan penyerahan uang muka dalam akad istishna’.
2.    ‘Urf fasid, yaitu kebiasaan masyarakat yang menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib. ‘Urf fasid juga merupakan adat kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang, namun berlawanan dengan ketentuan syariat. Misalnya minum miras dalam pesta, dan kebiasaan-kebiasaan dalam akad perjanjian yang bersifat riba. Kebiasaan berciuman antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram dalam acara pertemuan-pertemuan pesta. Demikian juga, adat masyarakat yang mengharamkan perkawinan antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram, hanya karena keduanya berasal dari satu komunitas adat yang sama (pada masyarakt adat Riau tertentu), atau hanya karena keduanya semarga (pada masyarakat Tapanuli, Sumatera Utara). Sejalan dengan perkembangan zaman dan semakin membaiknya pemahaman terhadap hukum Islam pada kedua komunitas masyarakat tersebut, secara berangsur-angsur adat kebiasaan tersebut telah mereka tinggalkan.
Dilihat dari segi luas sempitnya ‘urf, baik ‘urf qauli maupun ‘urf ‘amali, dibagi menjadi dua:
1.      ‘Urf  ‘aam: sesuatu yang menjadi kebiasaan mayoritas penduduk di berbagai negara tanpa memandang kepada kenyataan pada abad-abad yang telah silam, seperti sewa kamar mandi tanpa penentuan lamanya pemakaian, membayar ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya jarak yang ditempuh, dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh maksimum. Mandi di kolam. Dimana sebagian orang terkadang melihat aurat temannya.
2.      ‘Urf khash: sesuatu yang menjadi kebiasaan penduduk tertentu seperti, penyebutan dabbah untuk kuda di kalangan penduduk irak.kebiasaaan masyarakat Jambi menyebut kalimat “satu tumbuk tanah” untuk menunjukkan pengertian luas tanah 10 x 10 meter. Demikian juga kebiasan masyarakat tertentu yang menjadikan kuintasi sebagai alat bukti pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua orang saksi. Mengadakan halal bihalal yang biasa dilakukan oleh bangsa indonesia yang beragama Islam pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada negara-negara Islam tidak dibiasakan.
Pada dasarnya, semua ulama menyepakati kedudukan ‘urf Shahih sabagai salah satu dalil syara’. Akan tetapi, di antara mereka terdapat perbedaan pendapat dari segi intensitas penggunaannya sebagai  dalil. Dalam hal ini, ulama hanafiyyah dan malikiyyah adalah yang paling banyak menggunakan ‘urf sebagai dalil. Dibandingkan dengan ulama Syafi’iyyah dan Hanabilah.
Aplikasi dari kaidah ‘urf yang menyatakan syara’ tidak memberi batasan pengertian yang disebut al-hirz (barang yang terpelihara), berkaitan dengan situasi barang yang dicuri, sehingga hukuman potong tangan dapat dijatuhkan terhadap pencuri. Oleh karena itu, untuk menentukan batasan pengertiannya diserahkan kepada ketentuan ‘urf. Demikian juga tentang lamanya masa tenggang waktu maksimum tanah yang ditelantarkan oleh pemilik tanah pertama, untuk bolehnya orang lain menggarap tanah tersebut , ditentukan oleh ‘urf yang berlaku dalam masyarakat.
Contoh penggunaan ‘urf lainnya sebagai pedoman ialah, tentang usia wanita haid, usia baligh, usia mimpi dewasa, masa haid, nifas dan suci, ditinjau dari masa minimal dan maksimalnya, ukuran yang dipandang sedikit dan banyaknya sesuatu, perbuatan-perbuatan yang membatalkan shalat, tentang ukuran sedikitnya najis yang yang dimaafkan, tentang batasan-batasan waktu, tentang tenggang waktu dalam hal berurutan (al-muwalah) ketika berwudhu dan ijab-kabul, tentang tenggang waktu pengembalian barang yang telah dibeli karena cacat, tentang bolehnya memungut buah-buahan milik orang lain yang jatuh (gugur), dan tentang ukuran berat dan sukatan, yang semuanya itu belum dikenal pada masa Rasulullah. Semuanya itu, menurut pendapat yang terkuat, berpedoman kepada adat yang berlaku pada suatu tempat.
Hampir tidak perlu disebutkan, bahwa sebagai adat kebasaan, ‘urf dapat berubah karenaadanya perubahan waktu dan tempat. Sebagai konsekuensinya, mau tidak mau hukum juga berubah mengikuti perubahan ‘urf tersebut. Dalam konteks ini, berlaku kaidah yang menyebutkan:
الحكم يتغير بتغير الأزمنة والأمكنة و الأ خوال و الأشخا ص و البيئات

Ketentuan hukum dapat berubah dengan terjadinya perubahan waktu, tempat, keadaan, individu, dan perubahan lingkungan .
Kaidah ini sangat penting dipahami oleh setiap pegiat hukum Islam, untuk mengkukuhkan adegium yang menyebutkan bahwa agama Islamtetap relevan untuk semua waktu dan tempat. Menentang kaidah ini sama saja dengan menjadikan Islam ketinggalan zaman, kaku, jumud, dan tidak dapat memenuhi rasa keadilan hukum masyarakat (padahal itu bertentangan dengan prinsip kemudahan dalam syariat Islam). Akibatnya, umat Islam akan hidup dalam keadaan serba gamang dan canggung menghadapi perubahan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta peradaban yang terus bergerak maju. Tentu saja hal itu membuat umat Islam mengalami kesulitan dalam hidupnya, karena pada satu sisi mereka terjebak pada ketentuan hukum Islam yang tidak lagi dapat memenuhi tuntutan perubahan zaman. Dampak lanjutannya ialah, Islam sebagai suatu ajaran abadi hanya tinggal dalam sejarah. Oleh karena itu, mengingat pentingnya pemahaman terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat (yang tentu saja akan menimbulkan pula perubahan pada ‘urf dan adat kebiasaan mereka), maka dikalangan ulama berkembang pendapat yang menyatakan, salah satu persyaratan untuk menjadi seorang yang berpredikat mujtahid ialah, memahami ‘urf yang berlaku dalam masyarakat. Dengan memahami ‘urf yang berlaku, seorang mujtahid tidak akan kehilangan sifat dinamis dan up to date dalam fatwa-fatwa hukumnya.
Untuk lebih jelas di bawah ini disajikan tiga contoh tentang terjadinya perubahan hukum karena sejalan dengan perubahan waktu atau tempat dan/ atau keadaan terjadinya perubahan pada ‘urf dan adat kebiasaan masyarakat.
Contohnya masalah yang disepakati diantara para ulama ahli fiqh mahzhab Hanafy, ialah larangan menerima gaji bagi gurungaji Al-Qur’an atau orang yang berjuang meneggakkan syi’ar Islam. Alasannya karena hal itu merupakan ibadah, sedang ibadah tidak pantas mendapatkan imbalan berupa gaji. Akan tetapi ketika masyarakat tidak mau ngajar Al-Qur’an atau mensyi’arkan agama Islam kecuali harud diberi imbalan gaji, maka para ahli fiqh memperbolehkan mereka menerima gaji agar ekstensi Al-Qur’an tetap terjaga dan Syiar Islam tetap tegak di muka bumi seperti dzan dan jama’ah di masjid-masjid.
Daftar Pustaka:
Homaidi Hamid, Ushul Fiqh, Yogyakarta: Q-Media, 2013.
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqg, Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2013.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, penerjemah Saefullah Ma’shum, cet 15, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011.
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqih, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2015.
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, penerjemah Ahma Qarib.dkk, Semarang: Dina Utama, 1994.
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2010.



0 komentar:

Posting Komentar