Adat Istiadat merupakan kebiasan yang dilakukan oleh masyarakat di suatu daerah. Tapi permasalahannya apakah dalam islam juga membahas adat istiadat ? apakah istiadat juga termasuk dari bagian hukum Islam? marilah kita membahasnya lebih lanjut lagi.
'URF
Dalam hukum Islam terdapat dua ketentuan hukum yaitu
hukum yang disepakati dan hukum yang tidak disepakati. Seperti yang kita
ketahui bahwa hukum yang kita sepakati tersebut yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah,
Ijma’, dan Qiyas. Secara umum ada tujuh hukum Islam yang tidak disepakati dan
salah satu diantaranya akan menjadi pokok pembahasan pada makalah ini yaitu
‘urf.
Dalam istilah ahli ushul, ‘urf berarti sesuatu yang
dikenal dan telah menjadi tradisi mereka, baik berupa perkataan atau perbuatan.
Urf merupakan tradisi yang berkembang dalam masyarakat, yang mempunyai arti
saling pengertian satu sama lainnya, walaupun urf adalah tradisi atau adat
dalam suatu lingkungan di masyarakat. Urf juga menjadi suatu sumber hukum yang
di ambil oleh mahzab hanafi dan mahzab maliky yang berada di luar lingkup nash.
‘Urf
adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat dan merupakan kebiasaan di
kalangan mereka baik berupa perkataan maupun perbuatan. Oleh sebagian ulama
ushul fiqh, ‘urf disebut tradisi (adat kebiasaan). Sedangkan dalam pengertian
istilah tidak ada perbedaan antara ‘urf dan adat kebiasaan, sekalipun dalam
pengertian istilah hampir tidak ada perbedaan pengertian adat, karena adat di
samping telah di kenal masyarakat, juga telah biasa dikerjakan di kalangan mereka,
seakan-akan telah merupakan hukum tertulis, sehingga ada sanksi-sanksi terhadap
orang yang melanggar. Contoh ’urf yang
bersifat perbuatan yaitu transaksi jual beli tanpa akad ijab qabul, melainkan
dengan cara saling memberi (bai’ul-mu’athath). Demikian juga membagi mahar menjadi “hantaran” dan “mas
kawin”. Sedangkan contoh perkataan yang menjadi kebiasaan masyarakat seperti kata (ولد) untuk anak laki-laki saja, katadaging tidak
mencakup ikan laut, kata (دابة) untuk kuda saja dan kalimat “engkau saya kembalikan kepada orang tuamu” dalam
masyarakat Islam Indonesia, mengandung arti talak.
‘Urf, makruf, menurut Al-Baidhawi adalah
sesuatu yang dapat diterima oleh akal pikiran dan perasaan suatu masyarakat.
Lawannya munkar, yaitu sesuatu yang ditolak oleh akal pikiran dan perasaan
suatu masyarakat.
Dilihat sekilas, seakan-akan ada persamaan
antara ijma’ dengan ‘urf, karena keduanya sama-sama ditetapkan secara
kesepakatan dan tidak ada yang menyalahinya. Perbedaannya ialah pada ijma’ ada
suatu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya. Karena itu para
mujtahid membahas dan menyatakan kepadanya, kemudian ternyata pendapatnya sama.
Sedang pada ‘urf bahwa telah terjadi suatu peristiwa atau kejadian kemudian
seseorang atau beberapa anggota masyarakat sependapat dan
melaksanakannya. Hal itu dipandang baik pula oleh anggota masyarakat yang lain,
lalu mereka mengerjakan pula. Lama-kelamaan mereka terbiasa mengerjakannya
sehingga merupakan hukum tidak tertulis yang telah berlaku diantara mereka.
Pada ijma’, masyarakat melaksanakan suatu pendapat karena para mujtahid telah
menyepakatinya, sedang pada ‘urf
masyarakat mengerjakannya karena mereka telah biasa mengerjakannya dan
memandangnya baik.
Dalil Kehujjahan ‘Urf
لاَيُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ
بِاللَّغْلوِ فِى أَيْمَنِكُمْ وَلَكِن يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدتُّمُ
الْأَيْمَنَ فَكَفَّرَتُهُ, إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا
تَطْعِمُونَ أَهَلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَّمْ
يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّرَةٌ أَيْمَنِكُمْ إِذَا
حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوْا أَ يْمَنَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ
ءَايَتِهِ , لَعَلَّكُمَ تَشْكٌرٌونَ (٨٩)
Artinya : Allah tidak menghukum kamu
disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia
menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat
(melanggar) sumpah itu, ialah memberi makanan sepuluh orang miskin, yaitu dari
makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada
mereka atau memerdekakan seorang budak. Barangsiapa tidak sanggup melakukan
yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tigahari. (QS. Al-Maidah:89)
Dalam ayat ini Allah tidak menentukan jenis
makanan untuk kaffarah, melainkan diserahkan pada kebiasaan, yaitu makanan yang
biasa diberikan pada keluarga. Sudah barang tentu jenis makanan ini dapat
berbeda antara masyarakat yang satu dengan yang lainnya.
عَنْ عَائِثَةَ جَاءَتْ فَاطِمَةُ بِنتُ أَبِي حُبَيْشٍ إِلَى النَّبِيِّ
صَلِّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي
امْرَأَةٌ أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُأَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ قَالَ لَااجْتَنِبِي
الصَّلَا ةَ أَيَّامَ مَحِيضِكِ ثَمَّ اغْتَسِلِي وَتُوَضَّئِي لِكَلِّ صَلَاةٍ
ثَمَّ صَلِّي وَإِنْ قَطَرَالدَّمُ عَلَى الْحَصِيرِ (روه أحمد)
Dari Aisyah, Fatimah binti Hubaisy mendatangi Nabi SAW,
lalu berkata: Rasulullah, saya perempuan yang sedang istihadah, tidak
suci-suci. Apakah saya akan meninggalkan shalat? Beliau menjawab: tidak,
tinggalkan shalat pada hari-hari (biasa) haidmu, kemudian mandi, berwudhu, dan
berwudhulah untuk setiap shalat, kemudian shalatlah sekalipun darah menetes di
atas tikar. (HR. Ahmad)
Dalam hadis ini, berapa lama seseorang
istihadah tidak salat, tidak dibatasi dengan jumlah hari, tapi diserahkan pada
kebiasaan seseorang mengalami hal. Hal ini dapat berbeda antara perempuan satu
dengan perempuan yang lain. Sebab siklus haid seseorang tidak sama.
Para ulama yang menyatakan bahwa ‘urf
merupakan salah satu sumber dalam istinbath hukum, menetapkan bahwa ia bisa
menjadi dalil sekiranya tidak ditemukan nash
dari Al-Qur’an dan Hadits. Apabila suatu ‘urf bertentangan dengan kitab
atau sunnah seperti kebiasaan masyarakat di suatu zaman melakukan sebagian perbuatan yang diharamkan
semisal minum arak atau memakan riba, maka ‘urf mereka tersebut ditolak (mardud).
Sebab dengan diterimanya ‘urf itu berarti mengepingkan nash-nash yang pasti
(qath’iy): mengikuti hawa nafsu; dan membatalkan syari’at. Karena kehadiran
syari’at bukan dimaksudkan untuk legitimasi berlakunya mafasid (berbagai
kerusakan dan kejahatan). Segala kegiatan yang menuju ke arah tumbuh dan
berkembangnya kemafsadatan harus segera diberantas, bukan malah diberi
legitimasi.
Dilihat dari segi valid tidaknya ‘urf dalam
pandangan syariat, ‘urf dibagi menjadi:
1. ‘Urf shahih, yaitu kebiasaan masyarakat yang tidak menghalalkan yang haram
dan tidak mengharamkan yang halal serta tidak membatalkan yang wajib. Dan
kebiasaan yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertentangan dengan dalil
syara’. Urf shahih bisa diterima dan dipandang sebagi salah satu sumber pokok
hukum islam. Misalnya adat kebiasaan yang berlaku dalam dunia perdagangan
tentang indent, adat kebiasaan dalam pembayaran mahar, secara kontan atau
hutang, adat kebiasaan seorang yang melamar seorang wanita dengan memberikan
sesuatu sebagai hadiah, bukan sebagai mahar, dan penyerahan uang muka dalam
akad istishna’.
2. ‘Urf fasid, yaitu kebiasaan masyarakat yang menghalalkan yang haram atau
membatalkan yang wajib. ‘Urf fasid juga merupakan adat kebiasaan yang dilakukan
oleh orang-orang, namun berlawanan dengan ketentuan syariat. Misalnya minum
miras dalam pesta, dan kebiasaan-kebiasaan dalam akad perjanjian yang bersifat
riba. Kebiasaan berciuman antara laki-laki
dan wanita yang bukan mahram dalam acara pertemuan-pertemuan pesta. Demikian juga,
adat masyarakat yang mengharamkan perkawinan antara laki-laki dan wanita yang
bukan mahram, hanya karena keduanya berasal dari satu komunitas adat yang sama (pada
masyarakt adat Riau tertentu), atau hanya karena keduanya semarga (pada masyarakat
Tapanuli, Sumatera Utara). Sejalan dengan perkembangan zaman dan semakin membaiknya
pemahaman terhadap hukum Islam pada kedua komunitas masyarakat tersebut, secara
berangsur-angsur adat kebiasaan tersebut telah mereka tinggalkan.
Dilihat dari segi luas sempitnya ‘urf, baik ‘urf qauli
maupun ‘urf ‘amali, dibagi menjadi dua:
1. ‘Urf ‘aam: sesuatu yang menjadi
kebiasaan mayoritas penduduk di berbagai negara tanpa memandang kepada
kenyataan pada abad-abad yang telah silam, seperti sewa kamar mandi tanpa
penentuan lamanya pemakaian, membayar
ongkos kendaraan umum dengan harga tertentu, tanpa perincian jauh atau dekatnya
jarak yang ditempuh, dan hanya dibatasi oleh jarak tempuh maksimum. Mandi di kolam. Dimana sebagian orang
terkadang melihat aurat temannya.
2. ‘Urf khash: sesuatu yang menjadi kebiasaan penduduk tertentu seperti,
penyebutan dabbah untuk kuda di kalangan penduduk irak.kebiasaaan masyarakat Jambi menyebut kalimat “satu tumbuk
tanah” untuk menunjukkan pengertian luas tanah 10 x 10 meter. Demikian juga
kebiasan masyarakat tertentu yang menjadikan kuintasi sebagai alat bukti
pembayaran yang sah, meskipun tanpa disertai dengan dua orang saksi. Mengadakan
halal bihalal yang biasa dilakukan oleh bangsa indonesia yang beragama Islam
pada setiap selesai menunaikan ibadah puasa bulan Ramadhan, sedang pada
negara-negara Islam tidak dibiasakan.
Pada dasarnya, semua ulama menyepakati kedudukan ‘urf Shahih sabagai salah
satu dalil syara’. Akan tetapi, di antara mereka terdapat perbedaan pendapat
dari segi intensitas penggunaannya sebagai
dalil. Dalam hal ini, ulama hanafiyyah dan malikiyyah adalah yang paling
banyak menggunakan ‘urf sebagai dalil. Dibandingkan dengan ulama Syafi’iyyah
dan Hanabilah.
Aplikasi dari kaidah ‘urf yang menyatakan
syara’ tidak memberi batasan pengertian yang disebut al-hirz (barang yang
terpelihara), berkaitan dengan situasi barang yang dicuri, sehingga hukuman
potong tangan dapat dijatuhkan terhadap pencuri. Oleh karena itu, untuk
menentukan batasan pengertiannya diserahkan kepada ketentuan ‘urf. Demikian
juga tentang lamanya masa tenggang waktu maksimum tanah yang ditelantarkan oleh
pemilik tanah pertama, untuk bolehnya orang lain menggarap tanah tersebut ,
ditentukan oleh ‘urf yang berlaku dalam masyarakat.
Contoh penggunaan ‘urf lainnya sebagai pedoman
ialah, tentang usia wanita haid, usia baligh, usia mimpi dewasa, masa haid,
nifas dan suci, ditinjau dari masa minimal dan maksimalnya, ukuran yang
dipandang sedikit dan banyaknya sesuatu, perbuatan-perbuatan yang membatalkan
shalat, tentang ukuran sedikitnya najis yang yang dimaafkan, tentang
batasan-batasan waktu, tentang tenggang waktu dalam hal berurutan (al-muwalah)
ketika berwudhu dan ijab-kabul, tentang tenggang waktu pengembalian barang yang
telah dibeli karena cacat, tentang bolehnya memungut buah-buahan milik orang
lain yang jatuh (gugur), dan tentang ukuran berat dan sukatan, yang semuanya
itu belum dikenal pada masa Rasulullah. Semuanya itu, menurut pendapat yang
terkuat, berpedoman kepada adat yang berlaku pada suatu tempat.
Hampir tidak perlu disebutkan, bahwa sebagai
adat kebasaan, ‘urf dapat berubah karenaadanya perubahan waktu dan tempat.
Sebagai konsekuensinya, mau tidak mau hukum juga berubah mengikuti perubahan
‘urf tersebut. Dalam konteks ini, berlaku kaidah yang menyebutkan:
الحكم يتغير بتغير الأزمنة والأمكنة و الأ خوال
و الأشخا ص و البيئات
Ketentuan hukum dapat berubah dengan
terjadinya perubahan waktu, tempat, keadaan, individu, dan perubahan lingkungan
.
Kaidah ini sangat penting dipahami oleh setiap
pegiat hukum Islam, untuk mengkukuhkan adegium yang menyebutkan bahwa agama
Islamtetap relevan untuk semua waktu dan tempat. Menentang kaidah ini sama saja
dengan menjadikan Islam ketinggalan zaman, kaku, jumud, dan tidak dapat
memenuhi rasa keadilan hukum masyarakat (padahal itu bertentangan dengan
prinsip kemudahan dalam syariat Islam). Akibatnya, umat Islam akan hidup dalam
keadaan serba gamang dan canggung menghadapi perubahan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta peradaban yang terus bergerak maju. Tentu saja
hal itu membuat umat Islam mengalami kesulitan dalam hidupnya, karena pada satu
sisi mereka terjebak pada ketentuan hukum Islam yang tidak lagi dapat memenuhi
tuntutan perubahan zaman. Dampak lanjutannya ialah, Islam sebagai suatu ajaran
abadi hanya tinggal dalam sejarah. Oleh karena itu, mengingat pentingnya
pemahaman terhadap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat (yang
tentu saja akan menimbulkan pula perubahan pada ‘urf dan adat kebiasaan
mereka), maka dikalangan ulama berkembang pendapat yang menyatakan, salah satu
persyaratan untuk menjadi seorang yang berpredikat mujtahid ialah, memahami
‘urf yang berlaku dalam masyarakat. Dengan memahami ‘urf yang berlaku, seorang
mujtahid tidak akan kehilangan sifat dinamis dan up to date dalam fatwa-fatwa
hukumnya.
Untuk lebih jelas di bawah ini disajikan tiga
contoh tentang terjadinya perubahan hukum karena sejalan dengan perubahan waktu
atau tempat dan/ atau keadaan terjadinya perubahan pada ‘urf dan adat kebiasaan
masyarakat.
Contohnya masalah yang disepakati diantara
para ulama ahli fiqh mahzhab Hanafy, ialah larangan menerima gaji bagi
gurungaji Al-Qur’an atau orang yang berjuang meneggakkan syi’ar Islam.
Alasannya karena hal itu merupakan ibadah, sedang ibadah tidak pantas
mendapatkan imbalan berupa gaji. Akan tetapi ketika masyarakat tidak mau ngajar
Al-Qur’an atau mensyi’arkan agama Islam kecuali harud diberi imbalan gaji, maka
para ahli fiqh memperbolehkan mereka menerima gaji agar ekstensi Al-Qur’an
tetap terjaga dan Syiar Islam tetap tegak di muka bumi seperti dzan dan jama’ah
di masjid-masjid.
Daftar Pustaka:
Homaidi Hamid, Ushul Fiqh, Yogyakarta: Q-Media, 2013.
Hasbiyallah, Fiqh dan Ushul Fiqg, Bandung: PT Remaja
Rosdakarya, 2013.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqih, penerjemah Saefullah
Ma’shum, cet 15, Jakarta: Pustaka Firdaus, 2011.
Ahmad Sanusi dan Sohari, Ushul Fiqih, Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2015.
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, penerjemah Ahma
Qarib.dkk, Semarang: Dina Utama, 1994.
Abd. Rahman Dahlan, Ushul Fiqh, Jakarta: Amzah, 2010.
0 komentar:
Posting Komentar